Sunday, December 2, 2012

Sirep Agung dan Sirep Rare

Bagaimanakah cara masyarakat Bali tradisional mengukur waktu ?
Tentunya bukan menggunakan "jam" seperti jaman sekarang ini...Masyarakat Bali tradisional atau yang kini hidup di pedesaan memiliki cara tetenger dan penamaan tertentu untuk menandai waktu, antara lain dengan memperhatikan suara binatang atau peredaran Matahari. Sementara, Bulan tidak dapat digunakan sebagai tanda untuk mengukur waktu, karena Bulan muncul tergantung pada rotasi (fase), kadang-kadang muncul sempurna (Purnama), compang-camping, ataupun lenyap sama sekali dari pandangan (Tilem).


Cara yang paling lumrah bagi masyarakat tradisional Bali untuk mengukur waktu, yaitu dengan menafsirkan suara kokok ayam ataupun burung. Untuk menandai peteng, misalnya ditandai dengan suara ayam jantan, dan orang Bali menyebutkan waktu itu, sirep rare (20.00 atau 21.00). Konsep ini diterapkan dalam kalimat yang berbunyi : "nden malu mulih mare sirep rare" [ nanti dulu pulang, baru sekitar pukul 20.00 atau 21.00 (belum terlalu malam) ].

Di samping itu, orang Bali juga mengenal adanya sirep agung, yang tentunya berkaitan dengan latar belakang masyarakat Bali yang agraris dalam menentukan waktu tidur yang larut. Masyarakat petani Bali tentu telah pergi tidur antara pukul 23.00 atau 24.00, sehingga waktu ini disebut sirep agung. Penerapan konsep ini seperti pada kalimat : " sareang, suba sirep agung, mani buin matuturan" [tidurlah, sudah sirep agung, besok bercerita lagi]. Kata sirep agung terasa seperti memiliki makna magis jika dibandingkan ungkapan pukul 24.00.

Namun, saat sekarang ini, terutama di daerah perkotaan, jarang sekali kita mendengar kedua kata tersebut. Tapi, tidak ada salahnya kalau kita menggunakan kata tersebut dalam percakapan sehari-hari.


Sumber : Taksu

0 comments: