Saturday, December 1, 2012

Sang Hyang Sangkara

Dewan Sarwa Tumuruh


Bali memiliki konsep Tuhan Saguna yang tiap bagian dari kehidupan mendasar tersebut sangat erat kaitannya dengan dunia niskala, termasuk juga dalam urusan tanaman. Menyadari pentingnya hal tersebut, tumbuhan pun mendapatkan tempat yang istimewa dalam usaha memanusiakan alam, karena di Bali, kita mengenal istilah " mendewakan manusia - memanusiakan Dewa".



Dengan demikian, orang Hindu di Bali akan mewujudkan Tuhan sebagai Sang Hyang Sangkara yang dipuja sebagai Dewa yang menguasai dan mengayomi dunia botani/tumbuhan. Dalam pemujaan-Nya, Sang Hyang Sangkara akan dipuja di arah wayabya (Barat Laut) atau Kaja-Kauh dari pengider mata angin Bali.

Untuk alasan itu, dalam pengider buana, Sang Hyang Sangkara digambarkan dengan warna hijau, yang mewakili tumbuhan. Jika kita merujuk pada konsep Siva Siddhanta, maka Sang Hyang Sangkara adalah bagian dari perbanyakan Bhatara Siwa yang tidak berbeda dengan Beliau. Tetapi, dalam etika dan upacaranya, pembagian dan pembedaan itu diadakan untuk menggambarkan kekuatan Beliau yang tanpa batas dan agar manusia yang serba terbatas ini dapat merealisasikan setiap energi Tuhan dalam kehidupannya.

Di Bali, Sang Hyang Sangkara dipuja ketika Hari Tumpek Wariga/Tumpek uduh(bubuh) atau Tumpek Pangatag, yang jatuh 25 hari sebelum Hari Raya Galungan. Disebut Tumpek Wariga, karena dilaksanakan pada Saniscara Kliwon Wariga. Disebut juga Tumpek Bubuh, karena saat itu dihaturkan bubur sumsum yang terbuat dari tepung. Disebut Tumpek Pangatag, karena matra yang digunakan untuk mengupacarai tumbuhan disertai dengan prosesi ngatag, menggetok-getok batang tumbuhan yang diupacarai.

Adapun banten atau sarana yang diperlukan dan dihaturkan saat Tumpek Wariga adalah sebagai berikut :
  1. Banten Prass.
  2. Banten Nasi Tulung Sesayut.
  3. Banten Tumpeng.
  4. Bubur Sumsum (dibuat Tepung).
  5. Banten Tumpeng Agung.
  6. Ulam itik (diguling), banten penyeneng.
  7. Tetebusan, dan canang sari, ditambah dupa harum. 
Banten tersebut dihaturkan menghadap Kaja-Kauh dan ayatlah Bhatara Sangkara sebagai Dewanya tumbuhan. Kemudian, semua tanaman yang ada di sekitar rumah atau pekarangan diberikan sasat gantungan dan diikat di bagian batangnya. Setelah itu, berikan bubur sumsum. Lalu, "atag", pukulkan tiga kali dengan pisau tumpul (tiuk tumpul) dengan mengucapkan mantra sebagai berikut :
"Kaki-kaki, dadong dija? Dadong jumah gelem kebus dingin ngetor. Ngetor ngeed-ngeed-ngeeed-ngeeed, ngeed kaja, ngeed kelod, ngeed kangin, ngeed kauh, buin selae lemeng galungan mebuah pang ngeeed" 

Dengan mengucapkan itu, diharapkan tanaman yang berbunga akan berbunga lebat, yang berbuah akan berbuah lebat. Nantinya, buah ataupun bunga tersebut akan bermanfaat bagi kehidupan masyarakat, khususnya saat Galungan. Penyebutan kaki-dadong dalam konteks ini adalah upaya penunjukan yang ditujukan untuk memuliakan tumbuhan yang jauh lebih dulu ada dari pada manusia dan makhluk lain yang ada di permukaan Bumi. 

Di India, penggambaran Sang Hyang Sangkara lebih didominasi dengan tampilan yang terkesan seperti di hutan rimba. Hyang Sangkara duduk di bawah pohon beringin (pippala) yang memiliki akar gantung ribuan banyaknya serta lebat dan besar. Sedangkan di Bali, Beliau digambarkan menyatu dengan pangider Buana dengan Dewata Nawa Sanga Lainnya. Oleh sebab itu, pada hari Tumpek Wariga, sebaiknya haturkan banten tersebut menghadap ke arah Kaja-Kauh. Dengan demikian, kita akan sesuai dengan kaidah geguat yang sudah ada di Bali. 


Sumber : Taksu/Gede Agus Budi Adnyana

0 comments: